Toleransi umat Hindu dan Islam di Bali saat Nyepi bertepatan dengan Ramadan terlihat di beberapa wilayah.
Sebenarnya, toleransi antarumat beragama di Bali sudah hal yang lumrah dilakukan. Namun mengingat tahun ini berbeda, di mana Hari Raya Nyepi bertepatan dengan bulan suci Ramadan sehingga momen yang dilakukan umat Muslim yang mulai melakukan ibadah puasa dengan umat Hindu yang merayakan Hari Raya Nyepi memberikan toleransi yang mendalam.
Menurut data Dukcapil dari Kementerian Dalam Negeri telah mencatat bahwa jumlah penduduk yang beragama Islam ada sebanyak 236,53 juta jiwa, yakni mencapai 86%. Sementara itu, penduduk yang memeluk agama Hindu ada 4,67 juta yakni sekitar 1,71 %.
Akan tetapi, perbedaan jumlah penganut agama yang sangat jauh ini tidak menyebabkan timbulnya polemik antara kedua agama tersebut. Ketika momen 1 Ramadhan 1445 H dan hari Raya Nyepi terjadi bersamaan, justru tampak semangat toleransi antara para penganut agama Hindu dan Islam.
Menjaga toleransi untuk setiap umat beragama ketika masing-masing menjalankan ibadah yang berbeda memang penting sekali. Karena sejatinya, keberagaman agama merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan ini harus dijaga.
Dengan dialog dan sikap terbuka antar umat beragama, maka kita akan memahami bahwa perbedaan adalah kekuatan. Karena perbedaan itu sendiri bukan dijadikan sebagai sekat yang memisahkan antara agama yang satu dengan yang lainnya.
Ketika 1 Ramadhan 1445 H bertepatan dengan Nyepi Tahun Baru Caka 1946, dari sini diharapkan dapat memberikan kekuatan untuk keberagaman agama. Partisipasi dari masyarakat agar dapat menjalankan toleransi sebagai modal yang berharga dalam membangun sebuah masa depan secara inklusif pun sangat dibutuhkan.
Toleransi Terwujud Saat Umat Islam Menjalankan Tarawih Pertama di Kabupaten Badung, Bali
Umat muslim yang berdomisili di Desa Tuban, tepatnya Kabupaten Badung, Bali, menjalankan ibadah sholat Tarawih pada malam pertama Ramadhan 1445 H. Pelaksanaan sholat tarawih ini berjalan secara tertutup dengan jumlah jamaah terbatas sebab bertepatan dengan momen Hari Raya Nyepi.
Hal ini diungkapkan oleh I Gede Agus Suyasa, selaku Sekretaris Desa Adat Tuban yang menjelaskan bahwa mereka memberikan toleransi untuk umat Islam agar menjalankan sholat Tarawih. Hal ini mengingat hal tersebut adalah kegiataan keagamaan dan sifatnya tidak dapat dipisahkan.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa petugas pengamanan atau para pecalang adat Bali sendiri telah berkomunikasi bersama pimpinan masjid supaya mengikuti saran langsung dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).
Dalam hal ini tidak ada aktivitas ibadah sholat Tarawih yang dilakukan di masjid dengan melibatkan banyak masyarakat. Ini artinya hanya para pengurus masjid yang berada di dekat masjid saja yang melaksanakan ibadah sholat tarawih berjamaah di masjid.
I Gede Agus Suyasa juga menjelaskan bahwa pihaknya mengarahkan untuk ikut mengamankan pelaksanaan ibadah sholat Tarawih dengan persuasif. Berdasarkan seruan bersama mengenai hari Raya Nyepi 1946, maka umat Islam akan diperbolehkan untuk menjalankan ibadah sholat tarawih yang pertama kali dengan jumlah jamaah terbatas di masjid. Sementara itu, akan dibatasi penerangan dan tidak memakai pengeras suara.
Di samping itu, Sidik yang juga merupakan ketua RT dari Kampung Bugis, di Desa Adat Tuban sekaligus sebagai takmir masjid ini ikut menjelaskan jika sholat Tarawih pertama pada bulan suci Ramadhan 1445 H digelar dengan cara tertutup dengan jumlah peserta atau jamaah yang terbatas. Tujuannya untuk menghormati para penganut agama Hindu yang juga sedang menjalani adat Catur Brata ketika Hari Raya Nyepi tiba.